Laman

17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2016

24 Januari 2011

Bentuk Akad Utang-piutang

  1. seseorang yang membutuhkan suatu barang, tetapi dia tidak mempunyai uang tunai untuk mendapatkan barang tersebut. Kemudian dia membelinya dengan cara pembayaran  dalam jangka waktu tertentu dengan harga lebih mahal dari pada harga penjualan secara tunai. Cara seperti ini dibolehkan, sesuai firman Allah: “ Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…..”. (al-Baqarah, ayat 282)
  2. Membeli barang dagangan dengan pembayaran bertempo dengan tujuan untuk diperdagangkan. Cara seperti ini diperbolehkan karena masih tercakup dalam pengertian ayat 282 surah al-Baqarah. Ibnu Taimiyah bahwa kedua bentuk mualah tersebut dibolehkan oleh Alquran dan hadist, maupun ijma’.
  3.  Seseorang sedang membutuhkan dirham, kemudian dia meminjamnya dari orang lain dengan memberi sebuah jaminan. Akad ini dibolehkan dikarenakan termasuk akad salam, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: dari Ibnu Abbas, “Nabi datang dari Madinah di mana mereka (ahli Madinah) biasa membeli buah-buahan secara ijon setahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW. Bersabda, “Barang siapa membeli buah-buahan secara ijon, maka tentukanlah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu dan untuk satu masa tertentu.”
  4. Seseorang sangat membutuhkan dirham, tetapi dia tidak dapat menemukan orang yang bersedia menjaminnya. Kemudian dia membeli barang dari orang lain dengan pembayaran tempo, dan dia menjual kembali barang tersebut kepada pemiliknya dimana dia membelinya dengan harga lebih rendah daripada saat dia membelinya dengan pembayaran tunai. Praktik jual beli seperti ini haram hukumnya, karena terdapat penipuan yang jelas untuk mendapatkan riba. Berdasarkan hadis Nabi SAW: “Apablia manusia kikir dengan dinar dan driham, berjual beli dengan cara ‘inah, memegangi ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah akan menurunkan bala’ kepada mereka. Kemudian tidak ada yang dapat menghilangkannya, sampai mereka kembali ke agama mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
  5. Seseorang sangat membutuhkan dirham, tetapi dia tidak dapat menemukan orang yang bersedia menjaminnya. Kemudian dia membeli barang dari orang lain dengan pembayaran tempo, dan dia menjual kembali barang tersebut kepada orang lain (bukan pada orang dimana dia membelinya. Jual beli seperti ini dinamakan tawarruq. Sebagian ulama membolehkan praktik jual beli ini karena orang tersebut membeli barang yang  tujuannya ada kalanya untuk mendapatkan barang dagangan dan juga mendapatkan uang dari hasil jual belinya. Sedangkan ulama lain melarangnya karena praktik seperti ini merupakan tujuan untuk memperoleh dirham dengan dirham sedangkan barang dagangan hanya sebagai perantara. Pendapat yang mengharamkan jual beli tawarruq dipilih Ibnu Taimiyyah dan merupakan riwayat dari Imam Ahmad. Dalam riwayat Abud Dawud, bahwa Imam Ahmad menggolonggkan tawarruq sebagai jual beli ‘inah. Namun ada yang membolehkan jual beli tawarruq ini demi kebutuhan manusia yang mendesak, maka harus ada beberapa syarat: 1) kebutuhan uang yang mendesak, 2) tidak terdapat jalan lain yang halal, 3) tidak mengandung unsur riba, 4) pihak pengutang tidak boleh menjual barang tersebut tanpa diserahterimakan dan dipindahkan.
  6. Pemberi utang dan pengutang bersepakat mengambil uang 10 dirham untuk 11 dirham atau lebih sedikit atau lebih banyak. Kemudian keduanya pergi ke toko lalu pemberi utang membeli barang di toko tersebut seharga dengan dirham yang disepakatinya dengan pengutang, lalu dia menjual barang itu kepada pengutang, setelah itu pengutang menjual kembali barang tersebut kepada pemilik toko. Praktik transaksi seperti ini haram hukumnya.
  7. Apabila seseorang mempunyai tanggungan utang kepada orang lain, ketika datang jangka waktu pembayarannya (jatuh tempo) dia tidak dapat membayar. Lalu pemberi utang berkata: “aku menambah utang padamu dan menambah jangka waktunya.” Cara seperti ini termasuk riba dan haram hukumnya. Seperti dalam surah Ali Imran ayat 130-132.
  8. Seseorang yang mempunyai piutang kepada orang lain, ketika jatuh tempo pembayarannya, dia berkata: “engkau bisa langsung membayar utangmu kepadaku atau berutang kepada si A untuk digunakan membayar utangmu kepadaku. Sedangkan diantara pemberi utang pertama dan kedua telah menjalin kesepakatan untuk memberi utang dan menerima pembayarannya. Atau pemberi utang berkata: “datanglah kepada si A untuk meminjam uang darinya dan gunakanlah untuk membayar utangmu kapadaku.” Sementara antara pemberi utang pertama dan kedua telah terjadi kesepakatan untuk memberi utang. Apabila pengutang telah membayar utang pada pemberi utang yang pertama, maka utangnya menjadi berbalik kemudia dia membayar pihak kedua. Hukum akad seperti ini adalah haram karena merupakan tipu daya untuk membalik utang dengan cara tsulatsiyah.
  9.  
     Disarikan dari: Buku Fiqih Jual Beli: Panduan Praktis Bisnis Syariah, Penulis Syekh Abdurrahman as-Sa'di dkk

    1 komentar:

    1. Klo ada butuh uang trs dia sy mnta untuk jual barang ke sya lalu sy bayar cash,kmudian karna dia masih butuh barang td maka sy jual lg barang td pd si pnjual /pemilik sblmnya tp dgn cara kredit.apakah ini trmasuk jual beli yg dlarang?

      BalasHapus