Al Ijarah: upah, sewa, jasa atau imbalan. Ada beberapa definisi ijarah yang dikemukakan oleh ulama fikih. Ulama mazhab Hanafi mendefinisikan dengan, “transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”. Ulama mazhab Syafii mendefinisikannya dengan; “transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.” Ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali mendefinisikan dengan, “pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad ijarah itu hanya ditujukan pada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai objek ijarah untuk diambil susu atau bulunya, karena keduanya termasuk materi. Jumhur ulama fikih juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan, seperti unta, sapi, kuda dan lain-lain, karena dimaksudkan dengan hal itu adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani Itu adalah materi. Hal ini sejalan dengan riwayat dari Rasulullah SAW: “Rasulullah SAW melarang penyewaan mani hewan pejantan” (HR. Bukhari, Ahmad bin Hanbal, an-Nasai, dan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar). Demikian juga ulama fikih tidak membolehkan ijarah terhadap nilai tukar mata uang, seperti dirham dan dinar, karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya, sedangkan dalam ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu benda.
Akan tetapi, Ibnu Qayyim al-Jauziah, ahli fikih Mazhab Hanbali, menyatakan bahwa pendapat jumhur ahli fikih tersebut tidak didukung oleh Alquran, sunnah, ijma’ dan Qiyas. Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam syariat Islam adalah bahwa suatu materi yang berevolusi secara bertahap hukumnya sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan serta susu dan bulu pada kambing. Ibnu Qoyyim menyamakan manfaat dengan materi dalam wakaf. Menurutnya manfaat pun boleh diwakafkan, seperti rumah untuk ditempati dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk dimanfaatkan susunya. Menurutnya tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan (ijarah) suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan basisnya tetap utuh, seperti susu kambing, bulu kambing, dan manfaat rumah, karena kambing dan rumah tetap utuh.
Dasar hukum ijarah:
Ulama fikih berpendapat bahwa yang menjadi dasar dibolehkannya ijarah adalah firman Allah SWT dalam surah az-Zukhruf (43) ayat 32 yang artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian atas mereka sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain….”. disamping itu ulama fikih juga beralasan kepada firman Allah dalam surah at-Talaq (65) ayat 6 yang artinya: “jika mereka menyusuhkan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya….” Dalam surah al-Qashash (28) ayat 26, Allah SWT berfirman: “Salah seorang dari dua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Ulama fikih juga mengemukakan alasan dari beberapa sabda Rasulullah SAW, diantaranya: “Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka.” (HR Abu Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Tabrani, dan at-Tarmizi). Dalam riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri (w. 84 H) Rasulullah SAW bersabda: “siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya” (HR. Abdurrazaq dan al-Baihaqi). Selanjutnya dalam riwayat Ibnu Abbas dikatakan: “Rasulullah SAW berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal).
Disarikan dari : ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad ijarah itu hanya ditujukan pada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai objek ijarah untuk diambil susu atau bulunya, karena keduanya termasuk materi. Jumhur ulama fikih juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan, seperti unta, sapi, kuda dan lain-lain, karena dimaksudkan dengan hal itu adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani Itu adalah materi. Hal ini sejalan dengan riwayat dari Rasulullah SAW: “Rasulullah SAW melarang penyewaan mani hewan pejantan” (HR. Bukhari, Ahmad bin Hanbal, an-Nasai, dan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar). Demikian juga ulama fikih tidak membolehkan ijarah terhadap nilai tukar mata uang, seperti dirham dan dinar, karena menyewakan hal itu berarti menghabiskan materinya, sedangkan dalam ijarah yang dituju hanyalah manfaat dari suatu benda.
Akan tetapi, Ibnu Qayyim al-Jauziah, ahli fikih Mazhab Hanbali, menyatakan bahwa pendapat jumhur ahli fikih tersebut tidak didukung oleh Alquran, sunnah, ijma’ dan Qiyas. Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam syariat Islam adalah bahwa suatu materi yang berevolusi secara bertahap hukumnya sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan serta susu dan bulu pada kambing. Ibnu Qoyyim menyamakan manfaat dengan materi dalam wakaf. Menurutnya manfaat pun boleh diwakafkan, seperti rumah untuk ditempati dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk dimanfaatkan susunya. Menurutnya tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan (ijarah) suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan basisnya tetap utuh, seperti susu kambing, bulu kambing, dan manfaat rumah, karena kambing dan rumah tetap utuh.
Dasar hukum ijarah:
Ulama fikih berpendapat bahwa yang menjadi dasar dibolehkannya ijarah adalah firman Allah SWT dalam surah az-Zukhruf (43) ayat 32 yang artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian atas mereka sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain….”. disamping itu ulama fikih juga beralasan kepada firman Allah dalam surah at-Talaq (65) ayat 6 yang artinya: “jika mereka menyusuhkan (anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya….” Dalam surah al-Qashash (28) ayat 26, Allah SWT berfirman: “Salah seorang dari dua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Ulama fikih juga mengemukakan alasan dari beberapa sabda Rasulullah SAW, diantaranya: “Berikanlah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka.” (HR Abu Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Tabrani, dan at-Tarmizi). Dalam riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri (w. 84 H) Rasulullah SAW bersabda: “siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah ia beritahu upahnya” (HR. Abdurrazaq dan al-Baihaqi). Selanjutnya dalam riwayat Ibnu Abbas dikatakan: “Rasulullah SAW berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal).
Disarikan dari : ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM, editor Abdul Aziz Dahlan, Jakarta: Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar