Menurut Bahasa:
1. al-rabthu wa al-syaddu yaitu ikatan yang bersifat indrawi (hissi) seperti mengikat sesuatu dengan tali atau ikatan yang bersifat ma’nawi seperi ikatan dalam jual beli.
2. al-Taukid, al-tagliz dan al-tautsiq antara lain seperti disebutkan di dalam al-Qur’an “...walakin yuaakhizukum bima aqqattumul aimaan ... (al-Maidaah 89).
3. al-Dhaaman dan al-'ahdu seperti disebutkan di dalam al-Qur’an “...wa laa ta'zimuu ‘uqdatan nikaah hattaa yablugal kitaabu ajalahu... (al-Baqarah ayat 235).
Menurut Istilah Fiqh: Kesepakatan antara dua pihak atau lebih, masing-masing pihak terikat dan berkewajiban untuk melaksanakan kesepakatan tersebut.(terdapat definisi yang sangat beragam dari kalangan fuqaha’).
Sejarah Akad
Sebelum Islam datang, akad dilakukan dalam berbagai bentuk upacara khusus dan bersifat simbolis:
- Dalam hukum Romawi Kuno, akad-akad seperti jual beli, perkawinan dan lain-lain dilakukan dengan upacara khusus, tanpa upacara tersebut tidak dianggap akad. Misalnya dengan cara Mancipatio dalam akad jual beli, disebut juga dengan cara al-nuhas wa al-mizan (tembaga dan timbangan), karena mereka harus membawa timbangan dan kepingan uang dari tembaga. Syarat jual beli di kalangan mereka adalah: barang yang diperjualbelikan harus berada di tempat pelaksanaan akad jual beli (majlis al-bai’). Obyek jual beli juga terbatas pada barang-barang bergerak. Kalau yang diperjual belikan itu barang-barang tetap, tanah pekarangan, misalnya, maka menurut praktik Mancipatio bahwa bagian dari tanah pekarangan tersebut harus dibawa ke majlis akad seperti halnya barang-barang bergerak. Dengan demikian akad-akad yang berlaku di kalangan mereka tunduk pada suatu acara tertentu yang tidak lain adalah menjadi rukun yang pundamental dalam hukum Romawi. Kalaupun terjadi akad berdasarkan kerelaan (al-taradi) seperti bai’, ijarah dan syarikah, hal seperti ini hanya dalam konteks darurat dan merupakan pengecualian dari kaidah umum akad yang berlaku di kalangan mereka.
- Di kalangan Komunitas Arab Jahiliyah, akad jual beli lebih mencerminkan kebebasan dan keinginan salah satu pihak yang berakad. Seperti bai’ mulamasah, munabazah, ilqo’ al-hajr. Jadi jika pembeli memegang barang yang akan dijual, atau menaruh batu di atas barang tersebut, atau melemparnya dengan batu, maka akad diangap selesai dan jualbeli menjadi sah.
- Rasulullah melarang bentuk jual beli tersebut. Hukum Islam membuka dan melepaskan sistem akad dari system yang absurd, dan menundukkan akad semata-mata pada ijab dan qabul yang muncul dari para pihak berdasarkan kerelaan (al-taradi) dan kecakapan para pihak dalam melakukan perbuatan hukum (al-ahliyah). Jadi al-taradhi-lah yang mengikat para pihak, bukan acara-acara dan simbol-simbol tertentu.
- Hukum Islam menjadikan ijab dan qabul sebagai bentuk ekspresi dari dua keinginan atau kehendak (al-iradah) dari para pihak yang melakukan akad. Hukum Islam juga tidak membedakan barang-barang bergerak dengan barang-barang tidak bergerak dalam akad jual beli, dan juga tidak membedakan ada /tidak adanya barang dalam majlis akad. Jadi akad dalam hukum Islam, tidak terikat oleh symbol dan kegiatan formalitas yang tidak ada sangkut pautnya dengan makna akad yang sesungguhnya, kecuali kalau memang perbuatan itu sangat lekat dengan tujuan akad itu sendiri seperti al-qabdhu dalam akad tabarru’ dan rahn, atau karena ada suatu kemaslahatan yang sangat besar misalnya menetapkan adanya saksi sebagai syarat sahnya akad nikah. Bahkan anak di bawah umur pun dapat melakukan akad sejauh mendapat izin dari para pengampu (wali) mereka. Islam juga memberikan hak kebebasan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk melakukan akad, dan menghormati al-iradah pihak-pihak dalam akad yang memang akad tersebut membutuhkan al-iradah seperti akad mu’awadhat, tabaru’at, iltizamat (mewajibkan suatu perbuatan untuk diri sendiri seperti nazar dan lain-lain), dan nikah. (oleh Asmuni MT. Dosen MSI UII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar