Ulama fikih sepakat berpendapat bahwa tanaman yang ditransaksikan dalam musaqah adalah tanaman yang minimal usianya satu tahun. Juga diisyaratkan bahwa jenis tanaman yang menjadi objek dari perjanjian adalah tanaman keras.
Dasar hukum dibolehkannya melakukan musaqah antara lain adalah Hadist Rasulullah:
- “Rasulullah SAW memperkerjakan penduduk khaibar dengan ketentuan bahwa separo dari hasil buah sebidang kebun yang diperoleh diserahkan kepada pihak muslimin sebagai rampasan perang.” (HR Muslim)
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa seorang Ansar pernah mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar para Muhajirin mengelola kebun mereka dan hasilnya dibagi bersama. Rasulullah SAW menjawab: “Saya tidak bolehkan.” Kemudian diusulkan lagi agar kaum ansar yang mengelolanya dan hasilnya dibagi bersama. Mendengar perkataan tersebut, Rasulullah SAW membolehkan orang Ansar mengelolanya dan hasilnya dibagi bersama.
Dasar hukum musaqah yang lain adalah ijma’ (kesepakatan ulama) tentang dibolehkannya musaqah karena amat dibutuhkan oleh umat dalam, kehidupannya. Muhammad Al Asy-Syaukani, ahli fikih dan Hadis dari Yaman, dengan mendasarkan pendapatnya pada riwayat Ali bin Abi Talib (19 H/603 M-40 H/661 M), Abdullah bin Mas’ud, Ammar bin Yassar, Sa’id bin Musayyab, dan lain-lain mengatakan bahwa muzara’ah (kerjasama dalam mengelola tanah dalam hal menanam dan bagi hasil) dan musaqah dibenarkan bagi tanaman buah-buahan atau tanaman biasa.
Rukun dan Syarat Musaqah
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun musaqah hanya dua yaitu ijab dan kabul. Menurut jumhur ulama (mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan mazhab Hanbali) musaqah harus memiliki lima rukun yaitu ada dua orang/pihak yang melakukan transaksi, ada lahan yang dijadikan objek dalam perjanjian, bentuk/jenis usaha yang akan dilakukan, ada ketentuan mengenai bagian masing-masing dari hasilnya, dan ada perjanjian baik tertulis maupun lisan.
Syarat yang harus dipenuhi adalah:
- Orang yang berakad harus balig dan cakap bertindak hukum
- Benda yang dijadikan objek bersifat pasti. Menurut mazhab Syafii kebun yang menjadi objek adalah anggur dan tamar (kurma), sedangkan menurut mazhab Hanbali semua tanaman yang dapat dimakan buahnya.
- Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun tersebut merupakan hak mereka bersama. Menurut pendapat mazhab Syafii, musaqah sah pada kebun yang telah mulai berbuah tetapi buahnya belum matang.
- Bentuk usaha yang dilakukan oleh pengelola harus ada kaitannya dengan usaha untuk merawat dan mengelola kebun tersebut agar memberikan hasil maksimal dan usaha itu harus terinci sehingga tidak mengerjakan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan perawatan kebun.
- Ada kesediaan masing-masing pihak untuk melakukan perjanjian musaqah berupa ungkapan lisan atau tertulis tentang musaqah yang mereka lakukan.
Syarat-syarat benda yang diperjanjikan:
- Tanaman yang jadi objek perjanjian harus dapat diketahui keadaannya
- Lama perjanjian harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan sewa menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian.akan tetapi menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani, penetapan jangka waktu itu bukan sebuah keharusan dalam musaqah tetapi dipahami sebagai suatu cara yang terbaik, karena musim berbuah suatu tanaman dapat dimaklumi sesuai dengan kebiasaan yang ada.
- Perjanjian musaqah hanya dilakukan sebelum berbuah atau buah yang telah ada tetapi belum matang.
- Ada ketentuan yang pasti tentang bagian penggarap, seperti seperempat, sepertiga atau setengah. Bila disyaratkan hasilnya bagi penggarap atau pemilik saja atau ditentukan dari pohon tertentu, maka perjanjiannya batal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar