Laman

17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2016

02 Februari 2011

Harta atau Kekayaan

Harta yang dalam bahasa Arab adalah Maal yang berarti condong kepada sisi lain. Ulama mazhab Hanafi mendefinisikan bahwa harta adalah segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan ketika dibutuhkan atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Sedangkan jumhur ulama (sebagian besar ulama) mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang mempunyai nilai dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya. Berbeda dengan Mazhab Hanafi bahwa harta itu tidak saja bersifat materi tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda. Sedangkan mazhab Hanafi bahwa harta hanya bersifat materi, sedangkan manfaat masuk ke dalam pengertian milik.
Menurut T.M Hasbi Ash-Shidieqy (Hendi Suheni, 2002:10) yang dimaksud dengan harta adalah:
1.   Nama selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat dan dikelola (tasharuf) dengan jalan ikhtiyar.
2.   Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagian manusia.
3.   Sesuatu yang sah untuk diperjual belikan
4.   Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) contoh: seperti sebiji beras yang dapat dimiliki oleh manusia, dapat diambil kegunaannya dan dapat disimpan, tetapi biji yang menurut urf (kebiasaan) bahwa sebiji beras itu tidak bernilai (harga) maka biji itu tidak termasuk harta.
5.   Sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta, misalnya manfaat, karena manfaat tidak berwujud sehingga tidak termasuk harta
6.   Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.
Pendapat T.M Hasbi Ash-Shidieqy ini hampir sama dengan pendapat ulama Mazhab Hanafi yang pada intinya bahwa harta yang bersifat materi. Perbedaan para ulama mengenai defenisi harta ini berkaitan erat dengan implikasi hukum terhadap penggunaan harta tersebut. Salah satunya adalah mengenai sewa menyewa. Menurut ulama Mazhab Hanafi  bahwa ketika pemilik rumah sewa meninggal, maka kontrak sewa itu harus berakhir karena manfaat (sewa rumah dikontrakkan) tidak termasuk harta yang dapat diwarisi. Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa kontrak sewa itu akan terus berlangsung sampai dengan berakhirnya kontrak sewa, karena manfaat adalah harta yang dapat diwarisi.
Para ulama fikih membagi harta dalam beberapa bagian, yaitu: 
  • Berdasarkan kebolehan memanfaatkannya menurut syarak, maka harta dibagi menjadi harta mutaqawwim (halal untuk dimanfaatkan) dan ghairu mutaqawwim (tidak halal untuk dimanfaatkan).
  • Berdasarjan jenisnya, maka harta itu terbagi atas harta tidak bergerak (misalnya tanah dan rumah) dan harta bergerak (misalnya kendaraan)
  • Berdasarkan manfaatnya, harta itu dibagi atas harta al-istim’mali (pemanfaatannya tidak menghabiskan benda tersebut, misalnya lahan pertanian) dan harta al-istihlaki (pemanfaatannya menghabiskan benda tersebut, misalnya bahan baku).
  • Berdasarkan ada atau tidaknya harta sejenis di pasaran, maka harta itu dibagi atas harta yang bersifat al-misli (harta yang ada jenisnya di pasaran, misalnya gandum dan beras) dan harta yang bersifat al-qimi (harta yang tidak ada jenis sama di pasaran atau ada jenisnya tetapi pada setiap satuannya berbeda dalam kualitasnya, seperti satuan pepohonan, logam mulia dan lain-lain).
  • Berdasarkan status harta, maka ulama fikih membagi harta atas al-mal al-mamluk (harta yang telah dimiliki, baik secara pribadi maupun badan hukum) al-mal al-mubah (harta yang tidak dimiliki oleh pribadi, seperti air di sumbernya, berkaitan dengan statu harta ini, maka seseorang hanya boleh memanfaatkannya tanpa merusak lingkungan) dan al-mal al-mahjur (harta yang secara syara’ tidak boleh dimiliki baik untuk dijadikan harta wakaf maupun untuk kepentingan pribadi tertentu).
  • Berdasarkan dari segi berkembang atau tidaknya harta, maka ulama fikih membagi harta atas al-asl (yaitu harta yang menghasilkan seperti rumah, tanah, pepohonan dan hewan) dan as-samr (yaitu sesuatu yang dihasilkan dari harta, seperti buah dari pepohonan dan sewa rumah).
  • Berdasarkan pemiliknya, maka harta itu terbagi atas harta pribadi dan harta milik masyarakat. Harta pribadi merupakan harta yang dapat dimiliki oleh perorangan namun juga dapat berubah status kepemilikannya menjadi milik bersama. Sedangkan harta milik masyarakat adalah harta yang diperuntukkan bagi kemaslahatan masyarakat seperti jalan umu, jembatan dan lain-lain. Selain itu, harta milik masyarakat juga dapat berupa harta yang khusus diekploitasi bagi kepentingan umum, seperti harta wakaf atau harta yang termasuk dalam milik pemerintah. Akibat hukum dari pembagian harta ini adalah bahwa harta dengan status milik masyarakat tidak dapat dimiliki oleh seseorang yang seluruh hasil dari harta tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-sama.
Harta dalam pandangan Al-Quran seperti firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 29-30:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang ada di bumi dan di langit ini adalah milik Allah SWT, sedangkan manusia hanya mengelolanya saja yang merupakan rejeki bagi manusia itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar